Fkg.umsida.ac.id – Dalam upaya meningkatkan kualitas lulusan dan kesiapan mahasiswa menghadapi tantangan dunia kerja, Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) mulai mengarahkan perhatian pada pembaruan kurikulum yang lebih menitikberatkan pada praktik dan riset. Hal ini disampaikan oleh drg Anis Khoirin Hayati MKes, salah satu dosen praktisi FKG Umsida, dalam wawancara khusus mengenai kondisi pembelajaran di lingkungan FKG saat ini.
Menurut drg Anis, pendidikan kedokteran gigi idealnya mengutamakan keterampilan motorik dan pelayanan klinis secara langsung. Ia menegaskan bahwa praktik harus mendapatkan porsi minimal 60 persen dalam kurikulum, karena menjadi elemen krusial dalam membentuk kompetensi mahasiswa sebagai calon dokter gigi.
“Gerakan tangan itu lebih penting dalam profesi ini. Teori memang penting, tapi praktik jauh lebih krusial karena itulah yang akan menentukan kualitas pelayanan kita di lapangan,” tegasnya.
beliau menyoroti bahwa hingga saat ini, mayoritas program studi kedokteran gigi di Indonesia, termasuk FKG pada umumnya, masih terlalu dominan dengan materi. Mahasiswa lebih banyak belajar di kelas daripada di lapangan. Bahkan, dari total lima tahun masa studi, empat tahun lebih banyak diisi teori, sementara praktik hanya intensif di tahun kelima menjelang tahap co-assistant (koas).
Baca Juga: Lawan Penyakit Jantung Sejak Muda, Wanita Harus Tahu Ini!
Menurutnya, pola ini menimbulkan kesenjangan antara teori dan praktik. “Mahasiswa sering kaget ketika menghadapi pasien secara langsung. Banyak dari mereka merasa belum cukup siap. Ini menunjukkan bahwa pembekalan praktik masih kurang,” jelas drg Anis.
beliau mencontohkan bahwa seorang dokter gigi tidak bisa hanya mengandalkan keramahan dalam berinteraksi dengan pasien. “Kalau hanya ramah, pasien belum tentu kembali. Yang membuat pasien loyal itu hasil kerja kita. Harus ada kesan positif dan hasil nyata yang diberikan.”
Perlu Penambahan Waktu Praktik Sebelum Koas dan Masa Internship

drg Anis menyampaikan saran agar mahasiswa mendapatkan pelatihan praktik sejak awal kuliah, tidak hanya menunggu hingga koas. Menurutnya, sebelum memasuki tahap klinis, mahasiswa perlu dibekali dengan berbagai keterampilan dasar yang menunjang kepercayaan diri mereka dalam menangani sebuah kasus.
“Sebelum masuk koas, harusnya sudah disiapkan pelatihan-pelatihan. Mahasiswa harus sudah terbiasa dengan alat, prosedur tindakan, dan simulasi kasus. Jadi waktu koas tinggal pemantapan saja.”
Setelah menyelesaikan masa studi, lulusan dokter gigi juga diwajibkan menjalani program internship selama satu tahun. Namun dalam praktiknya, kualitas lulusan masih beragam—ada yang sudah siap, namun tak sedikit yang masih belum maksimal.
“Ini tantangan besar bagi kita semua, khususnya dosen di FKG Umsida, bagaimana menyusun kurikulum yang mampu membentuk lulusan yang betul-betul kompeten dan siap bersaing,” imbuhnya.
Transformasi Kurikulum: Mengurangi Teori, Menambah Riset dan Praktik
Lebih lanjut, drg Anis mengusulkan agar kurikulum FKG Umsida ke depan dapat dirancang dengan fokus pada praktik klinis, berbasis kasus nyata, dan diselaraskan dengan riset-riset sederhana. Hal ini akan menciptakan lingkungan belajar yang tidak hanya kognitif, tetapi juga aplikatif dan analitis.
“Teori bisa disampaikan secara ringkas, tetapi praktik harus diperkuat. Mahasiswa perlu belajar dari kasus, bukan hanya dari buku. Dan dari situ mereka bisa mulai berpikir kritis dan melakukan riset kecil.”
beliau juga menekankan bahwa penelitian mahasiswa tidak harus berskala besar, namun harus relevan dengan kondisi lapangan. Dengan membiasakan mahasiswa meneliti sejak dini, diharapkan akan muncul lebih banyak inovasi dan solusi di bidang kedokteran gigi, terutama dari kalangan muda.
Lihat Juga: Tekad Kuat FKG Umsida dalam Menghasilkan Dokter Gigi yang Unggul, Benchmarking dengan UM Surakarta
IPK Bukan Segalanya, tapi bekal ketrampilan

Dalam wawancara tersebut, drg Anis juga menyampaikan bahwa yang dilihat masyarakat bukanlah dari mana lulusan itu berasal atau berapa nilai IPK-nya, tetapi sejauh mana kualitas pelayanan yang diberikan.
“Pasien tidak akan bertanya lulusan mana kita, atau berapa IPK kita. Mereka akan menilai dari hasil kerja, apakah nyaman, apakah sembuh, apakah rapi. Itu semua hanya bisa dicapai kalau keterampilan praktik kita benar-benar matang,” ujarnya.
Melalui wawasan dan pengalamannya sebagai dosen praktisi, drg Anis Khoirin Hayati MKes berharap kurikulum FKG Umsida terus berkembang secara adaptif dan responsif terhadap kebutuhan profesi dokter gigi yang sesungguhnya. beliau juga mengajak seluruh civitas akademika untuk berkolaborasi mewujudkan sistem pendidikan kedokteran gigi yang tidak hanya menghasilkan lulusan cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh, terampil, dan inovatif.
“Kita bukan sekadar mencetak dokter gigi, tapi membentuk pribadi yang mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Dan itu hanya bisa tercapai jika praktik dan riset menjadi tulang punggung pendidikan kita.”
Penulis: Elfira Armilia